Reinkarnasi Kemerdekaan dalam Ajaran ‘Bhagavad Gita’

 



“Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”

Penggalan kata yang menjadi tema kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 76. Yang pada bulan Agustus sangat di tunggu-tunggu perayaannya tepat di tanggal 17 Agustus. Tak hanya dari kalangan atas dan menengah, namun kalangan bawahpun seolah ikut terseret akan arus nasionalisme pada saat lagu “Indonesia Raya” dimainkan oleh orkestra Istana. Seketika Soekarno, Hatta, Yamin, Budi Utomo, dan para pahlawan revolusi itu seolah berdiri gagah di samping kita dengan khidmat.

“Kemerdekaan ialah hak segala bangsa” seolah menjadi moncong meriam buat bangsa-bangsa terjejah tuk menentang biadabnya kolonialisasi yang mengatasnamakan pencarian sumber daya serta merampas hak-hak warga pribumi yang untuk makan esokpun harus bekerja keras hari ini. 

Praktek kolonialisasi yang bersumber dari mandeknya bangsa eropa yang haus akan kekayaan dan sumber daya didukung dengan pelayaran pertama Marco Polo yang menjadi tapak kaki pertama para imprealis eropa menjelajahi setiap belahan bumi ini.

Makna merdeka selalu menjadi pembicaraan hangat ketika memasuki bulan Agustus. Mulai dari pemaknaan yang beragam sampai apakah jiwa nasionalisme itu tidak bertentangan dengan ajaran agama tertentu.

Pukul 10.30 kurang lebihnya. Presiden menghimbau kepada selurh rakyat Indonesia tidak terkecuali, untuk berdiri dengan sikap sempurna di manapun berada untuk menghormati salah satu lambang/identitas negara yaitu Sang Merah Putih. Hormat dan meresapi pengalaman filosofis ketika bendera di gerek naik ke atas tiang istana merdeka.

Pemaknaan kata merdeka merupakan kata yang bersifat dinamis dan fleksibel di setiap jamannya. Setiap generasi mempunyai hak dalam memaknai kata “merdeka” itu sendiri.

Jika pada masa-masa awal kemerdekaan kata merdeka bersifat mempertahanakan kemerdekaan itu sendiri dari belenggu penjajahan dan juga mempertahankan kemerdekaan itu dari gerakan-gerakan separatisme yang mencoba tuk merenggangkan hubungannya dengan Indonesia kala itu.

Namun 76 tahun sudah kita merdeka, sepantasnya ada penafsiran baru akan kata “merdeka” itu sendiri. Bukan lagi untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan sebab kita sudah merdeka, bukan juga pemaknaan untuk mengangkat bambu runcing kembali dan mengusir penajajah. 

Namun pemaknaan merdeka kali ini kurang lebih pernah di ajarkan oleh Gandhi ketika memimpin India dalam mengusir kolonialis Inggris dari bangsanya.

Baghavad gita secara harfiah berarti ‘nyanyian sri bhagavan’ (Bhagavan: yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna). Arti kata Bhagavad Gita yang populer adalah ‘nyayian Tuhan’. 

Bagi umat Hindu. Ia merupakan Kitab Suci yang merupakan wahyu Tuhan melalui avatara (inkarnasi)-Nya muncul sebagai sosok Sri Krishna yang menjadi Tuhan yang Maha Esa mempunyai misi dan upaya dalam menegakkan dharma, kebenaran yang mulai merosot menuju kehancuran moralitas yang kemudia disampaikan kepada Arjuna sang manusia sempurna.

‘Merdeka dalam Bhagavad Gita’ bukan lagi hanya sekedar pesan simbolis bagi saudara-saudara kita umat Hindu, namun menjadi angin segar dalam mengartikan kata ‘merdeka’ yang sejalan dengan generasi kita. Menegakkan dharma atau kebenaran yang seolah makin terkikis dengan hadirnya oknum-oknum pemecah belah yang entah dengan motivasi apa ia melakukan tindakan-tindakan yang sangat tak mencerminkan kata ‘merdeka’ sama sekali. 

‘Merdeka dalam Bhagavad Gita’ dengan senantiasa menjaga kutuhan dan persatuan antara umat beragama serta menjadi garda terdepan dalam menangkal berita-berita bohong yang kerap menjadi api pemicu dan seolah dijadikan pembenaran demi melakukan kejahatan terhadap orang yang tak sepaham dan mereka yang mempunyai pandangan berbeda dengan dirinya.

‘Merdeka dalam Bhagavad Gita’ juga mengajarkan nilai-nilai anti kekerasan atau yang lebih di populerkan oleh Gandhi yaitu ‘Nirkekerasan’ yang mampu menjadi pisau bedah di tengah menggeloranya sikap extrimis dari berbagai oknum yang dengan sangat tidak manusiawi berlindung di balik ayat-ayat demi melakukan perbuatan yang tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga negara.

Pengamalan sila-sila dari Pancasila seolah hanya menjadi gambaran simbolis yang tanpa pernah kita praktekkan di kehidupan bernegara kita. 


Lahirnya sila kedua Pancasila yang berbunyi ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ seolah mengacu pada penerapan ‘Bhagavad Gita’ yang ketika turunya melalui Sri krishna dengan tujuan memperbaiki moral umat manusia yang sudah mulai keropos ketika itu.

Komentar

Postingan Populer